Super Tucano, Pesawat Tempur Ringan Kontra-Gerilya
Peranan sebuah pesawat turbo-prop dengan fungsi serang ringan sebagai pesawat COIN dirasa masih sangat diperlukan oleh negara-negara berkembang. Meski peran pesawat ini sudah dihapus oleh negara maju seperti NATO dan Rusia yang mengalihkan ke jenis pesawat turbojet dan turbofan.Korps Marinir AS terakhir memakai Bronco tahun 1995, Indonesia meng-grounded Bronco pada 2007. Akhirnya pada akhir tahun 2010 pemerintah Indonesia memutuskan mengorder satu skuadron penuh 16 unit pesawat tempur ringan turboprop dari pabrikan Brasil, Embraer dengan tipe EMB-314 Super Tucano. Pesawat memiliki 5 hardpoint di sayap dan fuselage, kokpit modern dilengkapi glass-cockpit display, mesin 1 unit Pratt & Whitney PT6A-68C berdaya 1600 HP, pengindera malam AN/AAQ-22 Safire. Daya mesin super tucano memang terbesar di kelasnya, mampu membawa amunisi berbagai kaliber dan beberapa jenis misil. Super Tucano melejit namanya setelah menuai sukses di tangan AU Kolombia yang berhasil menewaskan Raul Reyes, orang kedua dalam organisasi pemberontak FARC dalam suatu serangan udara lintas perbatasan Operasi Phoenix pada 2008. Aksi ini mendapat respon protes keras pemerintah Venezuela. Super Tucano dan seri sebelumnya sudah dioperasikan sejumlah AU Amerika Latin seperti Brazil, Kolombia, Peru, Ekuador, dan Chile. Venezuela sendiri berminat mengorder Super Tucano tapi diblokir oleh pemerintah AS. Memang pesawat ini banyak memiliki kandungan suku cadang buatan pabrikan AS sehingga Venezuela mengalihkannya ke pembelian heli serang buatan Rusia Mi-28N Havoc, sebuah heli serang pengembangan dari Mi-24/35.
Pergeseran paradigma di lapangan saat ini mulai mengikis keraguan AS terhadap peran pesawat tempur ringan turbo-prop. Semenjak pabrikan OV-10 berhenti produksi, praktis AS tidak memiliki pabrik yang memproduksi pesawat turbo-prop COIN. Militer AS menitikberatkan operasi COIN pada serangan udara CAS dari pesawat turbojet dan turbofan serta UAV yang ditopang superioritas piranti IRS (Inteligence, Reconnaisance, Surveillance) dengan pergerakan pasukan darat yang dibantu pasukan lokal. Doktrin tersebut meniscayakan kehadiran pasukan dalam jumlah besar untuk menduduki sebuah wilayah perlawanan dalam jangka panjang. Menurut doktrin resmi USMC, seharusnya personel pasukan darat yang diturunkan untuk meredam perlawanan gerilya di Irak sebanyak lebih dari lima ratus ribu serdadu. Strategi itu telah diterapkan di Irak dan Afghanistan pasca Operasi Iraqi Freedom dan Operasi Enduring Freedom. Konsekuensi dari taktik yang dijalankan menimbulkan lonjakan pemakaian pesawat jet konvensional multirole seperti F-16 Falcon, F-15E Strike Eagle, F/A-18, dan pesawat serang darat A-10C Thunderbolt II di luar perkiraan normal. Sebab pesawat tempur tersebut harus lebih sering berpatroli untuk bisa memberikan bantuan serangan udara dengan cepat terhadap unit pasukan di darat saat dipanggil. Penyiapan pesawat oleh awak darat pun tergolong rumit untuk penanganan sebuah pesawat jet tempur di pangkalan. Di tengah melambatnya ekonomi nasional, pemerintah AS menghemat perencanan pengadaan pesawat jet tempur konvensional. Bahkan A-10 sendiri telah berhenti line produksinya. Muncul kekhawatir di dalam meroketnya konsumsi lifetime airframe pesawat jet tersebut tanpa diimbangi rencana pengadaan yang memadai untuk menggantikannya di masa datang maka akan lahir bottleneck.
Pada mulanya progam LAAR menargetkan 100 unit orderan pesawat dengan konsep “wing peperangan ireguler” (Irregular Warfare Wings). Pada 2010 AU AS merevisi menjadi 15 unit orderan saja dengan mengubah konsep menjadi “membangun kemampuan kerjasama” (Building Partnership Capacity).
Proyek pengadaan LAAR mendorong pabrikan AS mendesain ulang
pesawat-pesawat tempur turboprop yang pernah populer dari era Perang
Dunia II hingga Perang Vietnam. Pabrikan Piper mendesain ulang P-51
Mustang menjadi PA-48 Enfocer. Pabrikan Boeing merilis konsep OV-10
Bronco menjadi OV-10X. Pabrikan Air Tractor memodifikasi pesawat
pertanian dengan sejumlah persenjataan berupa pesawat AT-802U. Legenda
perang Vietnam A-1 Skyraider dirancang kembali menjadi A-67 Dragon.
Hawker Beechcraft memodifikasi pesawat latih T-6A Texan II menjadi
AT-6B. Pabrikan Embraer Brasil menawarkan Super Tucano untuk pangsa AS
yakni A-29 Super Tucano. Bahkan pabrikan Italia Alenia dengan percaya
diri menawarkan jet latihnya Aermacchi M-346. Dari informasi above the
line, persaingan program LAAR mengerucut ke dua model yaitu A-29 Super
Tucano dan AT-6B Texan II. Keduanya dalam pengujian oleh AU maupun AL.
Analisis penulis memprediksikan AT-6B Texan II yang akan muncul sebagai pemenang. Meskipun Super Tucano sendiri telah battle proven
dan dipakai sejumlah AU negara Amerika Latin. Bahkan Embraer menjalin
kerjasama dengan pabrikan lokal Sierra Nevada untuk produksi A-29 di
Jacksonville, Florida. Akan tetapi dengan memilih AT-6B akan lebih
menyederhakan jalur suplai dan dukungan. AT-6B dirancang dengan
bekerjasama pabrikan Lockheed dengan sistem misi avionik turunan dari
A-10C Thunderbolt II, pesawat khusus CAS (Close Air Support) AU
AS bermesin turbofan. Pesawat AT-6B dikembangkan berbasis pesawat T-6A
Texan II produksi Hawker Beechcraft. T-6A adalah pesawat turboprop latih
dasar yang dipakai AU dan AL AS, telah dioperasikan sebanyak 250 unit.
T-6A merupakan pesawat latih dasar turunan dari PC-9 Pilatus Swiss untuk
pangsa pasar AS. Sebuah kebijakan pemerintah AS mewajibkan produsen
alutsista impor untuk bekerjasama dan membangun basis produksi dengan
perusahaan lokal. Dengan demikian kandungan lokal menjadi tinggi
mengingat basis industri dirgantara AS sangat kuat dan menggerakkan
sektor bisnis dalam negeri (multiple effects).
Program LAAR seiring dengan rencana
pengadaan pesawat angkut ringan yang bisa mendukung operasi COIN. Pada
bulan Mei 2011, AU AS memutuskan pabrikan Cessna sebagai pemenang dengan
produk unggulannya Cessna T-128T dan Cessna 208B Caravan. Total
sebanyak 32 unit pesawat yang diorder dengan nilai 88,5 juta Dollar.
Cessna menyingkirkan pesaingnya beratnya seperti Pacific Aerospace P-750
dari Selandia Baru dan EADS North Amerika C-212. Kalo EADS yang menang,
PT. Dirgantara Indonesia bisa ikut kecipratan rezeki buat ikut jualan
onderdil karena produksi C-212 Aviocar dari Airbus sendiri sudah
diserahkan ke PT. DI. Pesawat angkut ringan tersebut akan dikirim ke
Afganistan, mungkin juga Irak. Dalam kedua proyek COIN tersebut
pemerintah AS menghindarkan diri dari keterlibatan langsung. Proyek
diselenggarakan untuk menciptakan pelatihan pesawat tempur ringan COIN.
Tugasnya melatih negara-negara mitra mengoperasikan pesawat ringan
kontra-gerilya. Mencegah resiko korban personel AS yang berpotensi makin
menjatuhkan dukungan publik dalam negeri terhadap operasi militer AS di
luar negeri. Namun masih ada kemungkinan perubahan kebijakan pemerintah
AS dalam penggelaran pesawat ini di kemudian hari.
Pesawat tempur serang ringan turboprop memiliki kecepatan di bawah
300 knot, sangat rendah dibanding pesawat jet. Justru di sini letak
kelebihan sekaligus kelemahannya meski sudah dilengkapi dengan sistem
pertahanan diri. Pesawat AT-6B Texan II memiliki dispenser pengelak
ALE-47 yang bisa melontarkan flare. Piranti sensor AN/AAR-47 bisa
mendeteksi pancaran pemandu IR dan laser dari rudal anti-pesawat namun
minus RWR (Radar Warning Receiver) sehingga tidak bisa
mendeteksi rudal anti-pesawat yang dipandu radar. Karena kecepatan
terbang yang terlalu rendah, efektivitas pemakaian flare terhadap misil
menjadi meragukan. Ruangan kokpit dilapis dengan keramik ataupun paduan
titanium sehingga awak pesawat aman terhadap tembakan senjata api
ringan. Namun pesawat tetap rentan terhadap semua tembakan meriam
anti-pesawat kaliber kecil sekalipun. Saat ini semua meriam anti-pesawat
sangat efektif melawan pesawat tempur yang terbang rendah karena
dioperasikan memakai radar. Data perang Indochina yang melibatkan AS
menunjukkan kehilangan pesawat tempur turbo-prop adalah lima kali lipat
dari pesawat tempur jet. Jadi penggelaran pesawat tempur serang ringan
turbo-prop sangat bergantung iklim palagan, mengijinkan atau tidak.
Peranannya tidak menggantikan jet tempur melainkan saling melengkapi.
Pesawat jet tempur beroperasi terlebih dahulu dengan sasaran hard target
situs-situs SAM baik yang permanen maupun portable serta kendaraan
lapis baja biasanya juga dilengkapi senjata AA (Anti-Aircraft).Dalam Irregular Warfare, biasanya ancaman ini sudah tidak ada atau sudah dieliminir. Tinggal soft target saja yang bisa memiliki senapan serbu dan recoilless weapon seperti rudal panggul dan granat berpelontar roket. Kombinasi umum yang dipakai gerilyawan saat ini dalam perlawanan bersenjata. Penggunaan senjata tersebut harusnya bisa diminimalkan oleh unit di darat karena pesawat COIN tidak bekerja sendiri. Memerlukan data IRS dan peranan pasukan di bawah, sebagai supporting attack sekaligus pengamatan udara terhadap pergerakan mereka. Memang harus diakui strategi perang kontra-gerilya tidak melulu pada masalah pertempuran namun sangat erat dengan kebijakan luar negeri, penyelesaian masalah ekonomi dan politik, serta dukungan dari dari penduduk dan pemerintah negara-negara sekitar.
Dalam kondisi damai, pesawat serang ringan turbo-prop bisa dimanfaatkan juga sebagai pesawat latih terbang dan pelatihan personel serangan gabungan. Sangat menghemat biaya dibanding sepenuhnya memakai pesawat jet dalam pelatihan dukungan serangan udara jarak dekat bagi unit pasukan darat yang sedang bertempur (Joint Terminal Attack Controller). Disamping hemat bahan bakar dan durasi terbang yang lebih lama, usia pakai airframe pesawat turbo-prop jauh lebih panjang, berkisar 12 ribu hingga 18 ribu jam terbang. Bandingkan dengan pesawat jet tempur yang berkisar 6 ribu jam.
Pemilihan jenis pesawat serang turbo-prop kontra-gerilya dewasa ini sangat bergantung pada kebijakan pemerintah masing-masing. Pada prinsipnya kinerja dan kekuatan pesawat-pesawat tersebut tidak jauh berbeda antara produsen yang satu dengan yang lainnya. Tinggal kelebihan apa yang paling sesuai dengan kondisi palagan dan dukungan industri lokal.
Super Tucano (EMB-314) merupakan pesawat latih berkemampuan COIN (Counter Insurgency) atau pesawat antigerilya buatan Embraer Defense System, Brasilia. Pesawat ini merupakan tempur kategori serbu ringan yang telah dipesan oleh Indonesia dari Brazil. Pemesanan ini dilakukan pada Tahun 2010, dimana ada satu skuadron (16 Pesawat) telah dipesan untuk Indonesia. Super Tucano ini direncanakan sebagai pengganti pesawat COIN milik TNI AU yang telah di grounded yaitu OV-10 Bronco.
Penggantian ini sudah sangat mendesak mengingat pesawat OV-10 Bronco yang telah banyak berjasa bagi Indonesia telah dinyatakan Grounded sejak tahun 2007. Sehingga proses penggantian ini mau tidak mau harus di percepat untuk mempertahankan kemampuan pilot dan para teknisi lainnya, disamping tujuan utama untuk memperkuat TNI AU untuk menghadapi banyak tantangan di masa depan.
Apa Keunggulan dari Super Tucano?
Indonesia telah menjautuhkan pilihan kepada Super Tucano sebagai pesawat COIN di TNI AU. Tentunya TNI AU sebagai End User memiliki banyak pertimbangan sehingga memilih pesawat ini dibandingkan yang lain. Super Tucano ini di proyeksikan sebagai pesawat anti Grillia dimana yang dihadapi seperti gerakan separatis, pembalakan liar, dan juga penyelundupan narkoba. Seandainya di Indonesia terjadi lagi kekacauan seperti separatis, dan sejenisnya maka Super Tucano yang akan turun tangan.
Lalu kenapa untuk kekacauan seperti itu harus Super Tucano yang turun tangan?? Kenapa bukan pesawat tempur lain yang jauh lebih canggih dan menggetarkan seperti F-16 maupun Sukhoi TNI AU?? Alasannya sangatlah jelas, karena untuk menghadapi pasukan separatis, yang berada di dalam hutan-hutan, tentu dibutuhkan pesawat yang memiliki kemampuan untuk terbang rendah dan dengan kecepatan rendah pula. Selain itu, dibutuhkan juga pesawat yang mampu terbang selama berjam-jam tanpa harus kembali kepangkalan untuk mengisi bahan bakar. Disinilah peranan dari Super Tucano ini, karena pesawat ini memiliki semua kemampuan itu.
Seandainya pesawat Sukhoi atau F-16 yang diturunkan untuk menghadapi gerilawan, pesawat-pesawat ini akan menghadapi kesulitan untuk terbang rendah dan kecepatan rendah untuk mencari sasaran serta menghancurkannya. Selain itu, kedua jenis pesawat ini juga tidak bisa terbang dalam waktu yang lebih lama dari Super Tucano karena keduanya memerlukan bahan bakar yang sangat banyak per jam terbangnya. Selain itu juga, menggunakan Sukhoi atau F-16 hanya untuk menghancurkan geriliawan sepertinya sangat Over Killing.
Peranan Super Tucano di TNI AU
Seperti yang sudah saya jelaskan sebelumnya bahwa Super Tucano akan digunakan untuk mengahdapi geriliawan dan pembalakan liar serta sejenisnya. Kita mengingat kembali ketika terjadi perselisihan di Aceh dimana Separatis sedang melakukan kekacauan di Aceh, TNI AU mengerahkan Pesawat COIN yaitu OV-10 Bronco yang digunakan sebagai bantuan dan support terhadap tentara Indonesia di darat untuk menyerang posisi separaits. Nah peranan inilah nantinya akan terus dimainkan oleh Super Tucano.
Lalu mungkin sebagian dari kita bertanya, bukankah perselisihan di Aceh sudah selesai?? Ya benar bahwa sudah selesai, namun yang menjadi pertimbangan adalah diseluruh Indonesia masih mungkin untuk terjadi kejadian serupa di masa mendatang. Selain itu, di perbatasan seperti di Kalimantan dan Papua, sering sekali Negara tetangga melanggar kedaulatan Indonesia. Nah disini juga Super Tucano mengambil peranan sebagai pesawat patroli untuk mengamankan kedaulatan Negara Indonesia. Penggunaan Super Tucano sebagai pesawat patrol perbatasan akan lebih murah di banding dengan menggunakan Sukhoi ataupun F-16.
Apakah Super Tucano Rawan Embargo?
Kata embargo terasa seperti sebuah pil pahit yang pernah di alami militer Indonesia. Tahun 1999 sampai dengan 2005, Militer Indonesia di embargo oleh Amerika dan sekutunya sehingga menyebabkan alutsista TNI mengalami penurunan kualitas. Bahkan Inggris pernah melarang Indonesia menggunakan pesawat Hwak-209/109 (di beli Indonesia dari Inggris ) melawan pasukan separatis di Aceh. Sungguh suatu bentuk tindakan yang tidak mengenakkan bagi Indonesia.
Dari kejadian itulah, Indonesia banyak belajar. Seperti kata pepatah, Hanya Keledai yang akan jatuh 2 kali dilubang yang sama. Maka dari itu, TNI AU mencari produsen pesawat yang tidak akan membatasi Indonesia dalam menggunakan alutsistanya. Pilihan Super Tucano dari Brazil merupakan pilihan tepat untuk mengatasi masalah Embargo ini. Seperti kita ketahui bahwa Brazil tidak memiliki perselisihan apapun dengan Indonesia, dan sebagai Negara yang sama-sama sedang berkembang, Brazil dan Indonesia akan saling menghormati satu dengan yang lainnya.
Memang benar bahwa sebagian komponen dan senjata dari pesawat Super Tucano ini masih merupakan produk Negara barat yang pernah mengembargo Indonesia, tetapi peluang embargo ini akan semakin mengecil. Untuk itu, patutlah kita menyokong TNI AU sebagai pengguna Super Tucano untuk menjaga kedaulatan NKRI.
Referensi:
- http://www.flightglobal.com
- http://www.thinkdefence.co.uk
- http://www.airforce-magazine.com
- http://www.airforce-technology.com
- http://www.embraerdefencesystems.com
- http://www.wikipedia.org
- http://www.defensenews.com
- Maj. USAF Steven J. Tittel, Cost Capability and The Hunt for A Lightweight Ground Attack Aircraft, Fort Leavenworth, 2009
- Francis Crosby, Modern Fighter Aircraft, Anness Publishing, 2004
- Laur and Llanso, Encyclopedia of Modern US Weapons, Berkeley Publishing, 1998
0 komentar: